Mati Rasa

Hidup, tapi rasanya hampa saja di sini. Mati rasa. Mimpi, kan?! Aku harap ini cuma mimpi buruk. Ini pasti cuma mimpi buruk! Dan besok pagi akan ada cerita yang berbeda. Tapi bekas plester di lenganku kok nyata sekali… Tapi yang terasa sakit bukan di situ, melainkan di hati. Bukan patah hati. Lebih dari itu –tak tahu apa sebutannya. Yang sakitnya melebihi putus cinta. Yang perihnya terasa di napas. Yang semua perasaannya merenggut kalimat-kalimat –menjadikan kelu, memutus senyum –menjadikan biru, menghentikan langkah –menjadikan beku. Yang semua perasaannya berkumpul di dadamu, muak dan mual, ingin dimuntahkan! Yang semua perasaannya tidak bisa terbayar atau tergantikan atau terobati oleh apapun. Bahkan peluk dari seorang kamu yang sangat aku cintai. Maaf, Sayang… tapi cintaku ini untuknya jauh teramat besar melebihi untukmu.

Sekarang aku tahu bagaimana rasanya rela mati untuk dia –jikapun kelak mesti, demi membiarkannya hadir di dunia. Dunia yang bisa jadi terlalu kejam baginya. Tapi aku yakin jika ia punyaku, ia akan baik-baik dan tegar –melebihiku. Ah, sudahlah! Nihil. Mimpi tak membangunkanku. Tapi aku tetap ingin besok pagi, besok paginya kembali, besok pagi sepuluh tahun lagi, besok pagi seratus tahun lagi akan ada cerita yang berbeda dan lebih baik. Jangan khawatir, sepanjang hidupku tak akan dirimu pernah terlupa –hanya aku ingin kenangan atasmu kuubah jadi sesuatu yang lebih baik. Terima kasih telah berkorban selamanya demi keegoisanku yang sesaat. Terima kasih telah memberikan kebahagiaan sesaat yang akan terasa selamanya. Kembalilah ke langit dan jadikanlah taman bermainmu. Aku akan menjagamu dari sini. Aku ikhlas.

Sebuah cerita tentang Bintang Kecil. Di awal Oktober.

Leave a comment